JAKARTA - Menurut
MUI, penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang
terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip
syari’ah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.
Hal
tersebut dihasilkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V
Tahun 2015, Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (masalah fikih
kontemporer) tentang panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS
Kesehatan. Demikian kami kutip dari situs resmi mui.or.id, Senin (27/7/2015).
Menurut
MUI, kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat
urgensi kesehatan termasuk menjalankan amanah UUD 1945, maka Pemerintah
baik di tingkat pusat maupun daerah dianggap telah melakukan beberapa
upaya untuk meningkatkan kemudahan akses masyarakat pada fasilitas
kesehatan. Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (UU BPJS).
Namun, setelah diperhatikan, secara umum program
BPJS Kesehatan -program yang termasuk modus transaksional yang
dilakukan oleh BPJS itu, khususnya BPJS Kesehatan- belum mencerminkan
konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari
hubungan hukum atau akad antar para pihak. Hal itu dilihat dari
perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah, dengan merujuk pada Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa
literatur.
Secara teknis, konsep BPJS bertentangan dengan syar’i
karena apabila terjadi keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja
Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua
persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk
waktu 3 (tiga) bulan. Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total
iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja. Sementara keterlambatan
pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja
dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari
total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan
yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan hukum, MUI merekomendasikan pada halaman 56 Ijtima Ulama V Tahun 2015
tersebut bahwa, “Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan,
terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan
prinsip syari’ah, karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba.”
Sebagai
solusinya, MUI mendorong pemerintah “Untuk membentuk, menyelenggarakan,
dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari’ah dan
melakukan pelayanan prima.”
Oleh karena itu, kita selaku Muslim
harus berhati-hati dalam menerima kebijakan pemerintah, sehingga tidak
menyalahi Syari’at yang sudah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan. (dikutip dari arrahmah.com)